Sunday, January 15, 2006

JURNAL EROPA : Amsterdam, Kota di Atas Air

Thu Dec 15, 2005 6:24 pm

AMSTERDAM, KOTA DI ATAS AIR

Selasa sore. Rencananya ingin ikut historical walking tour di Amsterdam - tapi setelah lihat-lihat brosur dan ''hanya'' menemukan walking tour malam hari di area Red Light District, akhirnya kami memutuskan untuk mengeksplor kota ini sendiri dan naik Canal Cruise (boat).

Turun dari kereta api yang membawa kami dari Ijmuiden ke Amsterdam Centraal Station, kami langsung menuju Tourist Information Center terdekat. Bangunan stasiun kereta api Amsterdam sendiri mengingatkan akan stasiun-stasiun kereta api di Indonesia - seperti Stasiun Jatinegara, Purwakarta, Bandung lama, atau Yogyakarta. Hanya sedikit lebih kaya ornamen dan terawat. Namun penampilan luar stasiun sangat Eropa, yang kaya ornamen klasik dan lagi-lagi... berbata merah.

Kota Amsterdam sendiri sudah dihuni sejak tahun 1200 (relatif muda dibanding kota-kota lain di Eropa), di mana penduduk mendiami sisi Sungai Amstel. Awal abad 15, kota ini mulai berkembang dan mencapai puncaknya pada abad 17, ketika Amsterdam menjadi kota terkaya di Eropa berkat perdagangannya di seluruh dunia (termasuk Hindia Belanda). Pada Jaman Keemasan inilah banyak kanal dibangun dan bangunan-bangunan megah di kota ini.

Fakta-fakta menarik tentang Amsterdam : ada 165 kanal dengan panjang 75 km, luas daratan 171 hektar (dengan hanya 750 ribu penduduk) dan 2 juta kubik meter air, dan 1000 jembatan.

Tampaknya kota ini memang tidak dibangun untuk dilalui mobil - tapi untuk sepeda dan pejalan kaki. Buktinya memang lebih banyak sepeda dan orang mondar-mandir di jalan dan trotoar. Selain itu, ada juga trem sebagai alat transportasi publik. Untuk wisata air, tersedia 100 pedal boat, 651 cruise ship, 86 sea cruise ship, 4.809 sea-going vesse. Selain tinggal di ''daratan'', banyak juga warga Amsterdam yang tinggal di houseboat (yang jumlahnya 2.495).

Walau kota ini sangat layak dieksplor sambil berjalan kaki, namun karena waktu yang terbatas, kami naik cruise ship melalui sejumlah obyek-obyek menarik di Amsterdam ini. Karena tanahnya yang lembek, kayu dipergunakan sebagai fondasi bangunan-bangunan di Amsterdam. Bangunan di sini sangat padat - lagi-lagi, rata-rata berbata merah dengan bingkai kayu putih. Seperti rata-rata warga di kota-kota di Eropa, orang tinggal di flat.

Obyek-obyek menarik yang kita lalui di sini termasuk replika kapal VOC yang dulu dipakai melaut ke Indonesia, rumah tinggal Anne Frank (gadis Belanda keturunan Yahudi yang terkenal akan diarinya selama diburu Nazi dulu), beberapa gereja tua bergaya Neo-Gothic, bangunan pabean dan pelabuhan tua dari mana para pelaut Belanda berangkat melaut, dan lain-lain. Oya, di Amsterdam ini ada juga museum Van Gogh dan patung lilin Madame Tussaud (sayangnya nggak sempat masuk).

Walau tergolong negara maju, tidak banyak bangunan tinggi seperti di Jl. Sudirman Jakarta di sini. Kalaupun ada, letaknya di pinggiran kota. Teori saya, Belanda (dan negara-negara lain di Eropa) sudah merasakan Jaman Keemasannya pada abad-abad lampau, yang termanifestasikan dalam bangunan-bangunan tuanya yang megah dan cantik. Sehingga mereka berusaha melestarikannya. Yg terjadi di Asia Tenggara, kita sedang gencar2nya membangun saat ini. Siapa tahu bangunan-bangunan modern di Asia Tenggara saat ini akan menjadi ''heritage'' di abad-abad mendatang. Just a theory.

Dalam segi modernitas, memang metropolitan di Asia Tenggara lebih American oriented. Bahkan di Amsterdam sini tidak ada mal modern dan megah, seperti Plaza Senayan atau Plaza Indonesia. Yang ada bangunan tua multi-lantai yang fungsinya dirubah menjadi department store. Menurut Debby, banyak orang Belanda yang belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia menganggap negara kita tidak se-modern itu. Mereka baru percaya setelah berkunjung di Jakarta atau kota-kota besar lain di Asteng, seperti Singapore atau Kuala Lumpur. Wah, untuk satu hal ini kita boleh berbangga lho.

Setelah puas menyusuri kanal-kanal di Amsterdam dan makan malam (serta mencicipi salah satu pub terkenal di sini), kami pun kembali ke Ijmuiden dengan kereta api. Sepi sekali di sini - tapi itulah yang membuat Eropa berbeda dan akan selalu saya kenang sekembalinya ke tanah air.

Amor

0 Comments:

Post a Comment

<< Home